KEWAJIBAN ORANG TUA MENGKADER ANAKNYA AGAR MENJADI
CERDAS DALAM DALAM MENGELOLA HARTA DAN MENGEMBANGKAN USAHA
---
Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
-----
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيمِ
===***===
PERINTAH UNTUK MENGKADER ANAK
AGAR MENJADI CERDAS DALAM MENGELOLA HARTA DAN MENGEMBANGKAN USAHA
Allah SWT telah mengisyaratkan agar para
orang tua mendidik anak-anaknya agar memiliki kemampuan dalam mengelola dan
mengembangkan harta nya . Dan Allah SWT melarang para orang tua maupun lainnya
menyerahkan harta kepada para safiih ( orang-orang yang tidak cerdas dalam
mengelola harta ) , merkipun harta tersebut hak milik para safiih tadi .
﴿وَلَا
تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)﴾
Artinya : “ Dan janganlah kalian serahkan
kepada orang-orang yang safiih ( orang yang belum cerdas dalam mengelola harta
) harta-harta ( mereka yang ada pada ) kalian yang dijadikan Allah sebagai
sumber kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik . ( QS. An-Nisaa : 5 )
Dan Allah SWT berfirman :
﴿وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا
خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا﴾
Dan hendaklah takut orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak keturunan yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang tepat [untuk kesejahteraan masa depan mereka]”. (Q.S An-Nisa: 8- 9)
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 2/222 mengatakan:
"قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عباس : هَذَا فِي الرَّجُلِ يَحْضُره الْمَوْتُ، فَيَسْمَعُهُ الرَّجُلُ يُوصِي بِوَصِيَّةٍ تَضر بِوَرَثَتِهِ، فَأَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى الَّذِي يَسْمَعُهُ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ، وَيُوَفِّقَهُ وَيُسَدِّدَهُ لِلصَّوَابِ، وَلْيُنْظَرْ لِوَرَثَتِهِ كَمَا كَانَ يُحِبُّ أَنْ يُصْنَعَ بِوَرَثَتِهِ إِذَا خَشِيَ عَلَيْهِمُ الضَّيْعَةَ . وَهَكَذَا قَالَ مُجَاهِدٌ وَغَيْرُ وَاحِدٍ ".
“Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang rnenjelang ajalnya, lalu kedengaran oleh seorang lelaki bahwa dia mengucapkan suatu wasiat yang menimbulkan mudarat terhadap ahli warisnya.
Maka Allah Swt. memerintahkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut. hendaknya ia bertakwa kepada Allah, membimbing si sakit serta meluruskannya ke jalan yang benar. Hendaknya si sakit memandang kepada keadaan para ahli warisnya.
Sebagaimana diwajibkan baginya berbuat sesuatu untuk ahli warisnya, bila dikhawatirkan mereka akan terlunta-lunta.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang”. [Kutipan Selesai]
TERUTAMA KEWAJIBAN PARA WALI ANAK YATIM TERHADAP ANAK YATIM :
Dalam Rangka memelihara harta anak Yatim,
maka wali anak yatim di wajibkan berusaha mengembangkan hartanya dan mendidik nya
agar anak yatim tsb cerdas dalam mengelola hartanya . Tidak boleh menyerahkan
hartanya kecuali setelah anak yatm itu lulus uci coba kemampuan .
Allah SWT melarang atas wali anak yatim yang
ekonominya berkecukupun mengambil upah dalam mengembangkan hartanya , kecuali
jika walinya itu seorang fakir miskin .
Allah SWT berfirman :
﴿وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا
النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ
وَلا تَأْكُلُوها إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا
فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا
دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ
حَسِيباً (6)
﴾
Dan kalian ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu); dan barang siapa yang miskin,
maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan
harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang
penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas
kesaksian itu). ( QS. An-Nisaa : 6 )
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari Kakeknya bahwa Rosulullah ﷺ bersabda :
” مَنْ وَلِىَ يَتِيمًا فَلْيَتَّجِرْ
لَهُ وَلاَ يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ“
Artinya “Ketahuilah, barang siapa yang
mengasuh anak yatim yang mempunyai harta, maka gunakanlah hartanya untuk
berdagang dan jangan didiamkan saja sehingga tidak termakan oleh zakat”. (HR.
Tirmidzi: 641 dan didha’ifkan oleh Albani dalam Dho’if Tirmidzi)
Imam Syafii meriwaytakn dengan sanad nya dari Yusuf bin Maahik bahwa
Rosulullah ﷺ bersabda :
(اِبْتَغُوا فِي مَالِ الْيَتِيمِ أَوْ أَمْوَالِ
الْيَتَامَى لَا تُذْهِبْهَا وَلَا تَسْتَهْلِكْهَا الصَّدَقَةُ)
Kembangkanlah harta anak yatim atau harta-harta anak yatim sehingga tidak
lenyap dan hancur di makan zakat “.
[Diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab
*Al-Umm* (2/23–24) dan dalam *Al-Musnad* (halaman 92), serta oleh Al-Baihaqi
dalam *As-Sunan Al-Kubra* (4/107) melalui jalur Asy-Syafi’i. Kemudian
Al-Baihaqi berkata:
"وَهَذَا مُرْسَلٌ
إِلَّا أَنَّ الشَّافِعِيَّ أَكَّدَهُ بِالِاسْتِدْلَالِ بِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ
فِي إِيجَابِ الزَّكَاةِ مُطْلَقًا، وَبِمَا رُوِيَ عَنِ الصَّحَابَةِ فِي ذَلِكَ".
“Hadis ini adalah mursal, namun Asy-Syafi’i
menegaskannya dengan berdalil pada keumuman hadis-hadis sahih yang mewajibkan
zakat secara mutlak, serta dengan riwayat-riwayat dari para sahabat dalam
masalah ini.”
Setelah itu, Al-Baihaqi mengutip beberapa atsar dari
para sahabat. Hal ini sesuai dengan kaidah Asy-Syafi’i dalam berhujjah dengan
hadis mursal.
An-Nawawi dalam *Al-Majmu’* (5/581) berkata:
رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ
بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكٍ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ مُرْسَلًا.
“Hadis ini diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i dan Al-Baihaqi dengan
sanad sahih dari Yusuf bin Mahak, dari Nabi ﷺ secara mursal.”
Dalam *At-Talkhish Al-Habir* (2/158) karya
Ibnu Hajar, disebutkan perkataan Al-Baihaqi yang menukil dari Asy-Syafi’i
tentang penggunaan atsar-atsar ini sebagai dalil, sebagaimana disebutkan dalam
*Shahih Al-Bukhari* pada bab *Zakat Mal Ash-Shabiy* (zakat harta anak kecil).
Meskipun Mursal, namun makna hadits di atas
benar sekali; karena harta anak yatim itu sama dengan harta lainnya, jika sudah
sampai nisab dan sudah berlalu selama satu tahun maka wajib dizakati, dan jika
tidak dikembangkan dan diambil zakat setiap tahunnya, maka akan menyebabkannya
berkurang.
Sebagaimana telah diriwayatkan dari Umar
–radhiyallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata:
اتَّجِرُوا فِي أَمْوَالِ
الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهَا الزَّكَاةُ.
“Kembangkanlah harta anak-anak yatim,
sehingga tidak termakan oleh zakat”. (HR. Ad Daruquthni dan Baihaqi, beliau
berkata: “Sanadnya shahih”)
*****
ANCAMAN
BAGI ORANG YANG MENYERAHKAN HARTA KEPADA SAFIIH
[SAFIIH : ORANG YANG TIDAK CERDAS MENGELOLA HARTA]
MESKIPUN HARTA ITU HAK MILIK SI SAFIIH TERSEBUT
Dari Abu Musa al-Asy’ary , bahwa Nabi ﷺ bersabda :
ثَلاثَةٌ يَدْعُونَ
اللَّه فَلا يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةَ الْخُلُقِ
فَلَمْ يُطَلِّقْهَا، وَرَجُلٌ كَانَ لَهُ عَلَى رَجُلٍ مَالٌ فَلَمْ يُشْهِدْ عَلَيْهِ،
وَرَجُلٌ آتَى سَفِيهًا مَالَهُ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ عز وجل: ﴿وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ
أَمْوَالَكُمُ﴾".
"Ada tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi
Allah tidak mengabulkannya untuk mereka. yaitu:
[1] Seorang lelaki yang mempunyai istri yang
berakhlak buruk, lalu ia tidak menceraikannya;
[2] Dan seorang lelaki yang mempunyai harta
pada seorang lelaki lain ( menghutangi ) namun dia tidak menghadirkan saksi
terhadapnya
[3] Dan seorang lelaki yang memberikan kepada
orang yang safiih / سَفِيْهٌ ( orang yang belum cerdas
dalam mengelola harta ) hartanya , sedangkan Allah Swt. telah berfirman:
﴿وَلَا
تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ﴾
Artinya : “ 'Dan janganlah kalian serahkan
kepada orang-orang yang safiih ( orang yang belum cerdas dalam mengelola harta
) harta-harta ( mereka yang ada pada ) kalian' (An-Nisa: 5).
( HR. Al-Hakim dlm
al-Mustadrok No. 3181 , ath-Thobari dlm Tafsirnya No. 8544 dan ath-Thohawi dlm
“شرح مشكل
الآثار” No. 2530 .
Hadits ini dinilai shahih
oleh al-Hakim dan Syeikh al-Albaani dlam “صحيح الجامع” No. 3075. Tapi Menurut imam adz-Dzahabi : “ Hadits ini Munkar”
)
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir nya:
“Allah SWT. melarang memperkenankan kepada
orang-orang yang belum cerdas akalnya melakukan tashorruf (mengendalikan
dan mengelola) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan
kepada para wali mereka.
Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan
mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara
lainnya“. (Selesai)
===
DALIL LARANGAN MENYERAHKAN HARTA KEPADA SAFIIH
[[حَجْر bukan هَجْر]]
Makna Hajer adalah Penahanan harta [karantina harta]
milik orang yang belum cerdas mengelola-nya.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
﴿وَلَا
تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (5)﴾
Artinya: “Dan janganlah kalian serahkan kepada
orang-orang yang safiih (orang yang belum cerdas dalam mengelola harta)
harta-harta (mereka yang ada pada) kalian yang dijadikan Allah sebagai sumber
kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisaa: 5)
Allah SWT melarang para orang tua, para wali anak
yatim dan penguasa menyerahkan harta kepada para safiih (orang-orang yang belum
cerdas dalam mengelola harta), merkipun harta tersebut hak milik para safiih
tadi. Dan tidak boleh membiarkan orang yang safiih mengelola hartanya, meski
sudah berada ditangannya.
Ini menunjukkan betapa besarnya perhatian syariat
Islam dalam menjaga serta melindungi harta umatnya.
Hikmah di syariatkannya حَجْرُ
المَال [Hajr
/Karantina / pengamanan harta]:
Allah Ta'ala memerintahkan untuk menjaga harta
benda, dan menjadikan karantina harta Safiih sebagai salah satu cara untuk
melindungi mereka yang tidak mampu mengelola kekayaannya dengan baik seperti
orang gila, atau mereka yang berpotensi menghamburkan hartanya seperti anak
kecil, atau mereka yang cenderung menghamburkan secara sembrono, atau mereka
yang berpotensi merugikan hak orang lain seperti orang yang terlilit hutang.
Allah telah memberlakukan karantina [Hajr] sebagai
bentuk perlindungan terhadap harta mereka, untuk melindungi kepentingan orang
yang dikarantina dengan menjaga harta dan hak-haknya, serta untuk menghindari
kerugian bagi orang lain dan melindungi hak-hak mereka.
****
ORANG-ORANG YANG HARUS DI HAJER [DI TAHAN HARTANYA].
Ibnu Katsir dalam tafsirnya 2/214 berkata:
وَمِنْ هَاهُنَا يُؤْخَذُ الْحَجْرُ
عَلَى السُّفَهَاءِ، وَهُمْ أَقْسَامٌ: فَتَارَةً يَكُونُ الحَجْرُ لِلصِّغَرِ؛ فَإِنَّ
الصَّغِيرَ مَسْلُوبُ الْعِبَارَةِ. وَتَارَةً يَكُونُ الحجرُ لِلْجُنُونِ، وَتَارَةً
لِسُوءِ التَّصَرُّفِ لِنَقْصِ الْعَقْلِ أَوِ الدِّينِ، وَتَارَةً يَكُونُ الْحَجْرُ
للفَلَس، وَهُوَ مَا إِذَا أَحَاطَتِ الدُّيُونُ بِرَجُلٍ وضاقَ مَالُهُ عَنْ وَفَائِهَا،
فَإِذَا سَأَلَ (4) الغُرَماء الْحَاكِمَ الحَجْرَ عَلَيْهِ حَجَرَ عَلَيْهِ
“Bahwa orang-orang yang kurang cerdas akalnya
dikenakan hajer (di halangi dan tidak boleh men-tashorruf-kan hartanya). Mereka
yang di-hajer ini ada beberapa macam:
[*] Adakalanya karena usia orang yang bersangkutan
masih sangat muda, sebab perkataan seorang anak kecil tidak dianggap (tidak
berlaku dalam mu'amalah).
[*] Adakalanya hajer disebabkan karena penyakit
gila.
[*] Adakalanya karena buruk da!am ber-tasarruf
mengingat akalnya kurang cerdas atau agama nya kurang.
[*] Adakalanya karena pailit, yang dimaksud dengan
pailit ialah bila utang seorang lelaki menenggelamkan dirinya, dan semua
hartanya tidak dapat untuk menutup utangnya itu. Untuk itu apabila para pemilik
piutang menuntut kepada pihak hakim agar meng-hijir-nya, maka ia terkena hijir
(tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya dan hartanya di sita).
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum
cerdas akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian. (An-Nisa: 5)
Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah anak-anakmu dan
wanita-wanita(mu).
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud,
Al-Hakam ibnu Uyaynah, Al-Hasan, dan Ad-Dahhak, bahwa mereka adalah
wanita-wanita dan anak-anak kecil.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, mereka adalah anak-anak
yatim. [Selesai kutipan dari Ibnu Katsir]
Ibnu Mundhir berkata:
أكْثَرُ عُلمَاءِ الأمْصارِ من
أهْلِ الحِجَازِ، والعِرَاقِ، والشَّامِ، ومِصْرَ، يَرَوْنَ الحَجْرَ على
كل مُضَيِّعٍ لِمَالِه، صَغِيرًا كان أو كَبِيرًا.
“Sebagian besar ulama dari Hijaz, Irak, Syam, dan
Mesir melihat bahwa karantina harta berlaku bagi setiap orang yang ceroboh
dalam mengelola hartanya, baik itu jumlahnya sedikit atau banyak". [Lihat:
al-Mughni karya Ibnu Quddaamah 6/595].
Jenis-jenis Hajr [Karantina harta]:
Hajr [Karantina harta] terbagi menjadi dua
jenis:
Pertama:
Karantina untuk melindungi hak pribadi sesesorang, seperti karantina terhadap
harta anak yang masih kecil, orang yang ceroboh, orang yang boros, dan orang
yang gila, demi menjaga harta mereka.
Kedua:
Karantina untuk melindungi hak orang lain, seperti karantina harta terhadap
orang yang terlilit hutang demi melindungi kreditor, dan karantina terhadap
orang yang sakit parah yang berpotensi meninggal dunia demi melindungi ahli
warisnya."
*****
KISAH
SAHABAT ABDULLAH BIN AZ-ZUBAIR MENGHAJER
alias MENYITA HARTA AISYAH
RADHIYALLAHU ‘ANHA
[[حَجْر bukan هَجْر]]
Abdullah
bin az-Zubair bin al-Awaam , ibunya adalah Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiiq.
Kakak kandung ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha .
Beliau pernah menyita seluruh harta bibinya ,
Aisyah ; karena setiap kali mendapatkan rezki , maka Aisyah selalu
mensedakahkan semuanya , tanpa ada yang tersisa.
Dari 'Urwah bin Az Zubair berkata :
كانَ عبدُ اللَّهِ بنُ الزُّبَيْرِ
أحَبَّ البَشَرِ إلى عَائِشَةَ بَعْدَ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وأَبِي
بَكْرٍ، وكانَ أبَرَّ النَّاسِ بهَا، وكَانَتْ لا تُمْسِكُ شيئًا ممَّا جَاءَهَا
مِن رِزْقِ اللَّهِ إلَّا تَصَدَّقَتْ، فَقالَ ابنُ الزُّبَيْرِ: يَنْبَغِي أنْ
يُؤْخَذَ علَى يَدَيْهَا، فَقالَتْ: أيُؤْخَذُ علَى يَدَيَّ؟! عَلَيَّ نَذْرٌ إنْ
كَلَّمْتُهُ، فَاسْتَشْفَعَ إلَيْهَا برِجَالٍ مِن قُرَيْشٍ، وبِأَخْوَالِ رَسولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَاصَّةً، فَامْتَنَعَتْ، فَقالَ له
الزُّهْرِيُّونَ أخْوَالُ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، منهمْ عبدُ
الرَّحْمَنِ بنُ الأسْوَدِ بنِ عبدِ يَغُوثَ، والمِسْوَرُ بنُ مَخْرَمَةَ: إذَا
اسْتَأْذَنَّا فَاقْتَحِمِ الحِجَابَ، فَفَعَلَ فأرْسَلَ إلَيْهَا بعَشْرِ رِقَابٍ
فأعْتَقَتْهُمْ، ثُمَّ لَمْ تَزَلْ تُعْتِقُهُمْ حتَّى بَلَغَتْ أرْبَعِينَ،
فَقالَتْ: ودِدْتُ أنِّي جَعَلْتُ حِينَ حَلَفْتُ عَمَلًا أعْمَلُهُ فأفْرُغَ منه.
'Abdullah bin Az Zubair adalah orang yang paling disayangi oleh 'Aisyah
radliallahu 'anha setelah Nabi ﷺ dan Abu Bakr dan juga orang yang Aisyah paling banyak berbuat kebajikan
kepadanya.
'Aisyah radliallahu 'anha [sangat dermawan] sehingga
dia tidak pernah sekalipun menahan rejeki dari Allah,
melainkan dia pasti langsung mensedekahkannya.
Maka suatu kali Ibnu-Zubair berkata; "Sebaiknya hartanya
diambil [dihajer] dari kedua tangannya."
Maka 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; "Apakah hartaku hendak diambil [disita]
dari kedua tanganku? Kalau begitu Aku bernadzar untuk tidak bicara
dengannya [dengan Abdullah]”.
Maka Adullah mencoba untuk meminta bantuan dari beberapa orang dari
kalangan Quraisy terutama paman-paman (dari pihak ibu) Nabi ﷺ untuk membujuk 'Aisyah agar memaafkannya dan membatalkan nadzarnya .
Namun 'Aisyah radliallahu 'anha tetap menolaknya.
Maka kaum bani Zuhrah, yaitu paman-paman Nabi ﷺ (dari pihak ibu), yang diantaranya adalah 'Abdur Rahman bin Al Aswad bin
'Abdu Yaghuts dan al-Miswar bin Makhramah mengatakan kepada Abdulah bin
Zubair :
"Kalau begitu, kami berdua (Abdurrahman dan Miswar) akan minta
idzin menemui Aisyah, lalu bukakanlah pintu nya !“.
Maka Abdullah pun melakukannya , lalu dia menyerahkan sepuluh budak
kepada 'Aisyah radliallahu 'anha untuk dimerdekakan semuanya [sebagai bayar
kafarat / penghapus kewajiban nadzarnya].
Dan Aisyah terus saja membebaskan para budak hingga jumlahnya
mencapai empat puluh budak . Lalu 'Aisyah radliallahu 'anha
berkata; "Aku senang sekali bila telah mengucapkan sumpah (nadzar) untuk
terus menerus mengerjakannya sehingga menyelesaikannya." [HR. Bukhori
no. 3505 ]
Dalam riwayat Imam Bukhori yang lain : Dari 'Auf bin Malik bin Ath Thufail -yaitu Ibnu Al
Harits ia adalah anak saudara seibu Aisyah, isteri Nabi ﷺ:
أنَّ عائشةَ حُدِّثَتْ أنَّ
عبدَ اللهِ بنَ الزُّبَيرِ قال في بَيْعٍ أوْ عَطَاءٍ أَعْطَتْهُ عائشةُ واللهِ
لَتَنْتَهيَنَّ عائشةُ أوْ لَأَحْجُرَنَّ عليْها فقالتْ أَهُوَ
قال هذا قالوا نَعَمْ قالتْ هو للهِ عليَّ نَذْرٌ أنْ لا أُكَلِّمَ ابنَ
الزُّبَيرِ أبدًا فَاسْتَشْفَعَ ابْنُ الزُّبَيرِ إليها حينَ طَالَتِ الهِجْرَةُ
فقالتْ واللهِ لا أُشَفِّعُ فيهِ أحدًا أبدًا ولا أَتَحَنَّثُ إلى نَذْرِي فلمَّا
طَالَ ذلكَ على ابنِ الزُّبَيرِ كَلَّمَ المِسْوَرَ بنَ مَخْرَمَةَ وعَبْدَ
الرحمنِ بنَ الأَسْوَدِ بنِ عَبْدِ يَغُوثَ وهُما من بَنِي زُهْرَةَ فقال
لهُماأنْشُدُكُما باللهِ لمَّا أَدْخَلْتُمانِي على عائشةَ فإنَّها لا يَحِلُّ لها
أنْ تَنْذِرَ قَطِيعَتِي فَأَقْبَلَ بهِ المِسْوَرُ وعَبْدُ الرحمنِ
مُشْتَمِلَيْنِ بِأَرْدِيَتِهما حتى اسْتَأْذَنا على عائشةَ فَقَالا السلامُ
عَلَيْكِ ورَحْمَةُ اللهِ وبَرَكَاتُهُ أَنَدْخُلُ قالتْ عائشةُ ادْخُلوا قالا
كلُّنا يا أُمَّ المؤمنينَ قالتْ نَعَمِ ادْخُلوا كلُّكُمْ ولا تعلمُ أن مَعَهُما
ابنَ الزُّبَيرِ فلمَّا دَخَلوا دخلَ ابْنُ الزُّبَيرِ الحِجَابَ فَاعْتَنَقَ
عائشةَ وطَفِقَ يُناشِدُها ويَبكي وطَفِقَ المِسْوَرُ وعَبْدُ الرحمنِ
يُناشِدْنَها إِلَّا ما كَلَّمَتْهُ وقَبِلَتْ مِنْهُ ويقولُان إنَّ النَّبي صلَّى
اللهُ عليهِ وسلَّمَ نهى عن ماعَلِمْتِ مِنَ الهِجْرَةِ فإنَّهُ لا يَحِلُّ
لِمسلمٍ أنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثلاثِ لَيالٍ فلمَّا أكثرُوا على عائشةَ مِنَ
التَّذْكِرَةِ والتَّحْرِيجِ طَفِقَتْ تُذَكِّرُهُما وتبكي وتَقُولَ إنِّي قد
نذرْتُ وتَبْكِي وتقولُ إنِّي نَذَرْتُ والنَّذْرُ شَدِيدٌ فلمْ يَزَالا بِها حتى
كَلَّمَتِ ابنَ الزُّبَيرِ وأعتقَتْ في نَذْرِها أربعينَ رَقَبَةً وكانَتْ
تَذْكُرُ نَذْرَها بعدَ ذلكَ فَتَبْكِي حتى تَبُلَّ دُمُوعُها خِمارَها
Bahwa ‘Aisyah mendapatkan kabar : Bahwa Abdullah
bin Zubair berkata tentang penjualan (rumah) atau pemberian yang di berikan
Aisyah kepadanya, maka Abdullah berkata ;
"Demi Allah, Aisyah segera membatalkan penjualan (rumah)
atau aku akan menyitanya [حَجْر]."
Aisyah berkata; "Apakah dia (Ibnu Zubair)
mengatakan seperti itu?". Mereka menjawab ; "Ya." [Aisyah]
berkata; "Demi Allah, saya bernadzar untuk tidak berbicara kepada Ibnu
Zubair selamanya."
Maka Ibnu Zubair pun meminta ma'af kepada Aisyah
ketika Aisyah lama mendiamkannya. Namun Aisyah tetap berkata : "Tidak,
demi Allah, aku tidak akan mema'afkannya dan tidak pula menghentikan
nadzarku."
Ketika hal itu dirasakan Ibnu Zubair cukup lama,
maka Ibnu Zubair berkata kepada Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman bin Al
Aswad bin Abd Yaghuts, yang keduanya adalah dari Kabilah Zuhrah : "Aku
bersumpah atas nama Allah, ketika kalian berdua memasukkanku ke rumah Aisyah,
maka aku akan berkata padanya : sesungguhnya tidak halal baginya bernadzar
untuk memutuskan tali silaturrahmi".
Lantas Al Miswar dan Abdurrahman bersedia
melakukannya dan pergi menemui Aisyah dengan mengenakan mantelnya, kemudian
keduanya meminta izin kepada Aisyah, katanya; "Assalamu 'alaiki
warahmatullahi wabarakutuh, apakah aku boleh masuk?"
Aisyah menjawab; "Masuklah kalian."
Mereka berkata; "Kami semua." Aisyah menjawab; "Ya, kalian
semua."
Aisyah tidak tahu kalau Ibnu Zubair juga ada
bersama mereka berdua, ketika mereka masuk rumah, Ibnu Zubair pun masuk ke
dalam ruangan Aisyah, dan langsung memeluknya. Setelah itu Ibnu Zubair pun
menasihati Aisyah sambil menangis, kemudian Al-Miswar dan Abdurrahman juga ikut
menasihatinya.
Keduanya berkata, "Sesungguhnya Nabi ﷺ telah melarang untuk mendiamkan orang lain
sebagaimana yang telah engkau ketahui, sesungguhnya tidak halal bagi seorang
muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari."
Ketika nasehat itu mengalir terus kepada Aisyah,
Aisyah segera ingat mengenai nadzarnya dan menangis, lalu beliau berkata
;
"Sesungguhnya aku telah bernadzar, dan nadzar
tersebut sangatlah berat",
Dan keduanya masih saja seperti itu hingga Aisyah
mau berbicara kepada Ibnu Zubair. Setelah itu Aisyah memerdekakan empat puluh
budak karena nadzarnya.
Dan setelah itu Aisyah setiap kali ingat nadzarnya,
iapun menangis sehingga air matanya membasahi jilbabnya." [HR.
Bukhori no. 5611].
Alasan Abdullah bin Az-Zubair
menghajer harta bibinya Aisyah (ra) adalah sbb :
Bukankan Allah SWT berfirman tentang ciri hamba
ar-Rahman itu jika dia menginfaqkan hartanya , tidaklah berlebihan ?
﴿وَالَّذِيْنَ
اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ
قَوَامًا﴾
Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih)
orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, [pertengahan] di antara keduanya secara wajar [QS.
Al-Furqoon : 67]
Dan firman Allah SWT:
﴿وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ
عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا﴾
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu
pada lehermu [pelit] dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya [berlebihan]
karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. [QS. Al-Isra : 29]
Tafsirnya :
29-30. Allah memberi petunjuk kepada orang-orang
beriman untuk berinfak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan: “Janganlah kamu
menahan tanganmu untuk berinfak di jalan kebaikan dan jangan pula
berlebih-lebihan dalam berinfaq sehingga tidak tersisa sedikitpun harta di
tanganmu, karena itu akan membuatmu terhina di hadapan Allah dan para makhluk,
dan membuatmu menyesal karena telah menghabiskan harta
[Baca : Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz
Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz,
professor fakultas al-Qur'an Univ Islam Madinah]
Tafsir lain :
Dan janganlah engkau menahan tanganmu dari berinfak
di jalan kebaiakan, sebagai tindakan menyempitkan dirimu, keluargamu dan
orang-orang yang membutuhkan, dan janganlah pula berlebihan dalam berinfak,
hingga engkau memberikan apa yang melebihi kemampuanmu, akibatnya engkau duduk
dalam keadaan tercela, orang-orang mencaci dan mencelamu, lagi menyesal atas
sikap mubadzirmu dan habisnya hartamu
[Tafsir Al-Muyassar / Kementerian Agama Saudi
Arabia]
Dan firman Allah Swt :
﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ
أَمْوَالَكُمُ ﴾
Artinya : “ 'Dan janganlah kalian serahkan
kepada orang-orang yang safiih ( orang yang belum cerdas dalam mengelola harta
) harta-harta ( mereka yang ada pada ) kalian' (An-Nisa: 5).
*****
TAKUTLAH ANDA MENINGGALKAN ANAK KETURUNAN ANDA DALAM KEADAAN LEMAH, MISKIN & MENJADI PENGEMIS !!!!
Allah SWT berfirman :
﴿وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ
خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا﴾
Artinya : “Dan hendaklah takut orang-orang
yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak keturunan yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang tepat [[untuk kesejahteraan masa depan mereka]]” (Q.S
An-Nisa : 9)
Sebab Turun-nya ayat :
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 2/222 mengatakan:
"قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عباس : هَذَا فِي الرَّجُلِ يَحْضُره الْمَوْتُ، فَيَسْمَعُهُ الرَّجُلُ يُوصِي بِوَصِيَّةٍ تَضر بِوَرَثَتِهِ، فَأَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى الَّذِي يَسْمَعُهُ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ، وَيُوَفِّقَهُ وَيُسَدِّدَهُ لِلصَّوَابِ، وَلْيُنْظَرْ لِوَرَثَتِهِ كَمَا كَانَ يُحِبُّ أَنْ يُصْنَعَ بِوَرَثَتِهِ إِذَا خَشِيَ عَلَيْهِمُ الضَّيْعَةَ . وَهَكَذَا قَالَ مُجَاهِدٌ وَغَيْرُ وَاحِدٍ ".
“Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang rnenjelang ajalnya, lalu kedengaran oleh seorang lelaki bahwa dia mengucapkan suatu wasiat yang menimbulkan mudarat terhadap ahli warisnya.
Maka Allah Swt. memerintahkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut. hendaknya ia bertakwa kepada Allah, membimbing si sakit serta meluruskannya ke jalan yang benar. Hendaknya si sakit memandang kepada keadaan para ahli warisnya.
Sebagaimana diwajibkan baginya berbuat sesuatu untuk ahli warisnya, bila dikhawatirkan mereka akan terlunta-lunta.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang”. [Kutipan Selesai]
Tafsir ayat diatas :
Menurut sebagian para ahli tafsir : kata
" ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا " pada ayat diatas mencakup makna yang luas. Kata
“lemah” pada ayat di atas bisa dimaknai lemah dalam sisi aqidah, agama ,
ekonomi , sosial , keilmuan dan lainnya .
Maka dengan demikian dalam ayat di atas, Allah
memerintahkan para orang tua untuk mempersiapkan generasi setelah mereka .
Jangan sampai generasi–generasi di bawah mereka menjadi generasi yang
lemah.
Lemah di sini seperti yang di sebutkan diatas ,
maknanya sangat luas, karena memang yang dikehendaki Al-Quran dalam ayat
tersebut adalah makna yang mutlak dan umum. Baik berkaitan dengan kelemahan
aqidah, syariat, psikis, sosial, maupun ekonomi, dan lain sebagainya
Kelemahan sebuah generasi, tak lepas dari tanggung
jawab generasi sebelumnya untuk mengentaskan penerusnya dari jurang kegelapan
dan kegagalan. Karena hidup sejatinya adalah kematian, maka salah satu usaha
untuk mempersiapkan kematian tersebut adalah dengan mempersiapkan pengganti
yang tangguh.
Abdul Lathif Al-Khatib dalam Audhah
Al-tafasir menyebutkan :
نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي الْأَوْصِيَاءِ،
وَالْمَعْنَى: تَذَكَّرْ أَيُّهَا الْوَصِيُّ ذُرِّيَّتَكَ الضُّعَفَاءَ مِنْ بَعْدِكَ،
وَكَيْفَ يَكُونُ حَالُهُمْ بَعْدَ مَوْتِكَ، وَعَامِلِ الْيَتَامَى الَّذِينَ وُكِّلَ
إِلَيْكَ أَمْرُهُمْ وَتَرَبَّوْا فِي حِجْرِكَ، بِمِثْلِ مَا تُرِيدُ أَنْ يُعَامَلَ
أَبْنَاؤُكَ بَعْدَ فَقْدِكَ.
“Ayat ini diturunkan kepada para pelaksana /
pengemban wasiat , dan artinya: Wahai pelaksana wasiat , ingatlah akan anak
keturunanmu yang lemah. Dan bagaimana kelak keadaan mereka setelah kematianmu ?
Dan perlakukanlah pula para anak yatim yang
dititipkan kepadamu. Didiklah mereka dalam asuhanmu . Samakan seperti halnya
kamu berkeinginan dalam memperlakukan anak-anak mu setelah kehilanganmu".
----
Berikut ini ada sebuah hadits yang sangat tegas
menganjurkan para orang tua sebelum meninggal untuk "MEMPERSIAPKAN MASA
DEPAN EKONOMI ANAK" .
Dari seorang sahabat yang bernama Sa'ad bin Abi
Waqosh radhiyallahu ‘anhu berkata;
جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي وَأَنَا بِمَكَّةَ وَهُوَ يَكْرَهُ أَنْ يَمُوتَ
بِالْأَرْضِ الَّتِي هَاجَرَ مِنْهَا قَالَ يَرْحَمُ اللَّهُ ابْنَ عَفْرَاءَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ قَالَ لَا قُلْتُ فَالشَّطْرُ
قَالَ لَا قُلْتُ الثُّلُثُ قَالَ فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ
تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً
يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ
نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي
امْرَأَتِكَ وَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَكَ فَيَنْتَفِعَ بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ
بِكَ آخَرُونَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَئِذٍ إِلَّا ابْنَةٌ
Nabi ﷺ datang
menjengukku (saat aku sakit) ketika aku berada di Makkah". Dia tidak suka
bila meninggal dunia di negeri dimana dia sudah berhijrah darinya.
Beliau bersabda; "Semoga Allah merahmati Ibnu
'Afra'".
Aku katakan: "Wahai Rasulullah, aku mau
berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku".
Beliau bersabda: "Jangan".
Aku katakan: "Setengahnya"
Beliau bersabda: "Jangan".
Aku katakan lagi: "Sepertiganya".
Beliau bersabda: "Ya, sepertiganya dan
sepertiga itu sudah banyak.
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu
dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan menengadahkan tangan mereka.
Sesungguhnya apa saja yang kamu keluarkan berupa
nafkah sesungguhnya itu termasuk shadaqah sekalipun satu suapan yang kamu
masukkan ke dalam mulut istrimu.
Dan semoga Allah mengangkatmu dimana Allah memberi
manfaat kepada manusia melalui dirimu atau memberikan madharat orang-orang yang
lainnya".
Saat itu dia (Sa'ad) tidak memiliki ahli waris
kecuali seorang anak perempuan. (HR. Bukhori No. 2537)
Coba perhatikan sabda Beliau ﷺ !!! : " Sesungguhnya jika kamu meninggalkan
ahli warismu dalam keadaan KAYA itu lebih baik daripada kamu meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin lalu MENGEMIS kepada manusia dengan menengadahkan
tangan mereka."
****
MELATIH ANAK AGAR TERBIASA HIDUP HEMAT
Allah Swt berfirman :
﴿وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ
يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا﴾
Dan [hamba ar-Rahman itu adalah] orang-orang yang
apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula)
kikir. (QS. Al-Furqan: 67)
Ibnu Katsir ketika menafsiri ayat ini berkata :
“Yakni mereka tidak menghambur-hamburkan hartanya
dalam berinfak lebih dari apa yang diperlukan, tidak pula kikir terhadap
keluarganya yang berakibat mengurangi hak keluarga dan kebutuhan keluarga tidak
tercukupi. Tetapi mereka membelanjakan hartanya dengan pembelanjaan yang
seimbang dan selektif serta pertengahan. Sebaik-baik perkara ialah yang
dilakukan secara pertengahan, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula
kikir.
﴿وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا﴾
dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqan: 67)
Seperti pengertian yang terdapat di dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
﴿وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى
عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا﴾
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu
pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya. (Al-Isra: 29),
hingga akhir ayat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Isham ibnu Khalid, telah menceritakan kepadaku Abu Bakar ibnu Abdullah
ibnu Abu Tamim Al-Gassani, dari Damrah, dari Abu Darda, dari Nabi Saw. yang
telah mengatakan:
"مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ رِفْقُهُ فِي
مَعِيشَتِهِ".
“Seorang lelaki yang bijak ialah yang berlaku
ekonomis dalam penghidupannya”.
[HR. Ahmad 5/194 no. 21695. Di dhaifkan oleh Syu’aib
al-Arna’uth]
Akan tetapi, mereka (Para penulis kitab as-Sunan)
tidak ada yang mengetengahkannya.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan
kepada kami Abu Ubaidah Al-Haddad, telah menceritakan kepada kami Miskin ibnu
Abdul Aziz Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Hijri, dari Abul
Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan : bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
"مَا عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ"
“Seseorang yang berlaku ekonomis tidak akan miskin”.
["Al-Musnad (1/447) dan al-Haitsami berkata dalam al-Majma'
(10/252), 'Dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Muslim al-Hijri, dan dia adalah
lemah”].
Mereka (Ahlus Sunan) tidak ada yang mengetengahkan
hadis ini.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami
Ibrahim ibnu Muhammad ibnu Maimun, telah menceritakan kepada kami Sa'd ibnu
Hakim, dari Muslim ibnu Habib, dari Bilal Al-Absi, dari Huzaifah yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا أَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْغِنَى،
وَأَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْفَقْرِ، وَأَحْسَنَ الْقَصْدَ فِي الْعِبَادَةِ"
Betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan berkecukupan,
dan betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan fakir, dan betapa baiknya sikap
ekonomis (pertengahan) dalam (hal) ibadah.
["Musnad al-Bazzar dengan nomor (3604) dan al-Haitsami
berkata dalam al-Majma' (10/252): 'Al-Bazzar meriwayatkannya dari Sa'id bin
Hakim dari Muslim bin Habib, dan Muslim bin Habib ini saya tidak menemukan
kecuali dalam catatan Ibnu Hibban dalam deskripsi perawi Sa'id yang
meriwayatkannya, dan sisa para perawinya adalah orang-orang yang dipercayai”].
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak
mengetahui hadis ini melainkan hanya melalui hadis Hudzaifah r.a.
Iyas bin Mu’awiyah berkata :
" مَا جَاوَزْتَ بِهِ أَمْرَ اللَّهِ
فَهُوَ سَرَفٌ ".
“ Apa saja yang melampaui apa yang diperintahkan
Allah adalah pemborosan”.
Yang lainnya berkata :
" السَّرَفُ النَّفَقَةُ فِي مَعْصِيَةِ
اللَّهِ".
“Pemborosan itu nafkah untuk bermaksiat kapada
Allah “
Al-Hasan Al-Basri mengatakan :
"لَيْسَ النَّفَقَةُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ سَرَفًا".
“Infaq harta dijalan Allah bukanlah
pemborosan”.
[Baca : Tafsir Ibnu Katsir 6/124]
SELESAI SEMOGA BERMANFAAT
0 Komentar